Lelaki petualang itu mengundangku di hutan jati kembang, mengajak kaki-kakiku menyisir jalan setapak jati kembang. Saat rekah senyumnya hanya mengatup. Tipis. Tak pernah dibiarkannya kumpulan gigi yang serupa kawanan kuda putih itu terkena sinar mata. Hanya mata. Siapa pun pemilik mata, termasuk aku. Seolah-olah nyalang mata begitu menakutkan. Memberdirikan bulu kuduk. Seperti hendak menerkam gigi-gigi itu, menggigit lehernya, memutus pembuluhnya, memuncratkan darahnya, mencabut nyawanya, menggerogoti dagingnya. Ya, ketika senyumnya sebaris bibir tipis, sepanjang ia meyakini, tak mungkin bernyali ia melakukan perjalanan tanpa diriku. “Aku hanya ingin berpetualang, menjelajah bersamamu.” Oh, ucapan itu bahkan lebih mengharu-biru ketimbang redup sinar mentari terhadang dedaunan di dalam rimba jati. Itulah musababnya tak sanggup kutingkahi tiap ia bertutur gagasan.